Al-Mujaddid versi As-Suyuthi


Pernah ada masa-masa di mana umat Islam hidup dalam kemuliaan. Islam telah memuliakan mereka dan mereka pun telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Di masa-masa awal perkembangan Islam, Rasulullah Saw dan para sahabat –semoga Allah meridhai mereka- telah berhasil menyebarkan Islam ke seluruh kabilah-kabilah Arab. Kekuasaan Islam telah melebihi wilayah jazirah Arab semenjak berdiri Daulah Islam pertama di Madinah.

Kekuasaan Islam pun terus berlangsung dan menunjukkan keberhasilannya di tangan para Khulafa ar-Rasyidin –semoga Allah meridhai mereka- yang mulia. Penaklukan dilakukan hingga merambah ke Syam. Dan menaklukkan dua peradaban besar, Persia dan Romawi. Seluruh manusia bisa menyaksikan cahaya kemenangan Islam sehingga berbondong-bondonglah mereka memasuki agama yang haq ini. Hingga umat pun sampai pada masa di mana fitnah merajalela. Yang menutupi kebenaran layaknya malam menyelimuti siang. Datang lah berbagai macam fitnah, terjadi pembunuhan terhadap ‘Utsman Ibn ‘Affan r.a., pembangkangan para pendukung ‘Ali Ibn Abi Thalib –semoga Allah memuliakan wajahnya- pasca peristiwa tahkim, perebutan kekuasaan oleh Mu’awiyah, hingga peristiwa pemalsuan hadits secara besar-besaran.

Kejayaan selalu diterpa dengan goncangan dan ujian bahkan sampai pada taraf yang mematikan. Bagi mereka yang mencintai kebenaran di saat itulah mereka harus mengambil peran yang dominan. Mereka hadir sebagai pembaharu (al-mujaddid). Yang memperbaiki apa yang telah dirusak oleh manusia. Maka di saat-saat Khilafah Bani ‘Umayyah mengalami kemundurannya, muncullah ‘Umar Ibn ‘Abdul ‘Aziz –cucu dari ‘Umar Ibn Khattab r.a.- yang berhasil menyejahterakan rakyat dalam tempo yang relatif sangat singkat yaitu dua tahun. Ia juga yang memerintahkan Ibn Hazm untuk melakukan pembukuan hadits sebagai upaya penyelamatan terhadap pemalsuan.

“Perhatikanlah hadits-hadits dari Rasulullah Saw, lalu kumpulkan dan tuliskanlah. Sesungguhnya saya khawatir akan hilangnya ilmu dan wafatnya para ‘ulama.”Begitulah perkataan ‘Umar Ibn Abd al-‘Aziz kepada Ibn Hazm –semoga Allah merahmati mereka berdua-.

Para pembaharu agama telah dikabarkan oleh Rasulullah Saw bahwa mereka hadir dalam setiap seratus tahun. “Allah SWT akan mengutus pada setiap awal seratus tahun orang yang akan memperbaharui urusan umat ini” [H.R. Abu Daud]. Hadits yang dikeluarkan oleh Abu Daud ini berasal dari Abu Hurairah r.a. juga diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dengan perawi yang tsiqah. Sedangkan Al-Hakim meriwayatkannya dari Ibnu Wahb dan dia menyatakan akan keshahihan hadits ini.

Di antara para perusak, pengkhianat dan pembangkang agama, selalu hadir para pembelanya. Kita pasti ingat kisah Imam Ahmad –semoga Allah merahmatinya- yang harus bertarung argumen dengan ahli kalam pada peristiwa “Khalq al-Qur’an”. Kaum Mu’tazilah telah berani dan lancang berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Padahal tidak ada satu pun dalil -baik dari Al-Qur’an maupun as-Sunnah- yang mendukung pendapat mereka. Walau akhirnya kaum Mu’tazilah harus menerima kekalahan mereka setelah sebelumnya Imam Ahmad dipenjara karena keteguhannya memegang pendapat yang benar.

Imam As-Suyuthi mengatakan, semua pembaharu sudah hadir dan eksis pada setiap zaman, di mana para ulama menemukan mereka hadir pada setiap awal tahun seratus, semua mereka adalah para mujtahid, maka sebagaimana yang dikatakan oleh Adz-Dzahabi, “sesungguhnya Umar Ibn ‘Abd al-‘Aziz sudah sampai pada derajat mujtahid, asy-Syafi’I adalah penghulu para mujtahid.”

Imam al-Baihaqi mengeluarkan sebuah hadits melalui Abu Bakar al-Mirwazi, ia berkata, “Imam Ahmad bin Hanbal berkata, ‘Dalam Sunnah disebutkan bahwa Allah akan mempersiapkan pada setiap awal seratus tahun seseorang yang akan mengajarkan  sunnah kepada manusia, kemudian orang tersebut akan menghapuskan segala kebohongan yang di buat-buat atas Nabi Muhammad Saw, kemudian kami menyaksikan kebenaran hadits ini, di mana pada awal seratus tahun pertama dia adalah Umar Ibn ‘Abd al-‘Aziz, sedangkan pada awal seratus tahun kedua adalah Asy-Syafi’I.’”

Namun Imam As-Suyuthi berpandangan bahwa yang akan diutus Allah pada setiap awal seratus tahun itu adalah seorang laki-laki yang menguasai semua ilmu yang diperlukan, dialah mujtahid.

Yang menarik adalah bahwa Imam As-Suyuthi pernah menulis syair yang berisikan tentang nama-nama pembaharu (al-mujaddid) dalam sebuah karyanya berjudul Tuhfah al-Muhtadin bi Asma’ al-Mujaddidin:

Pada seratus pertama, dia adalah Umar

Khalifah adil disepakati tidak akan pudar

Sedang Syafi’I dating pada dua ratus kedua

Karena ia memiliki ilmu tiada dua

Lalu Ibnu Suraij adalah Imam ketiga

Sedang al-Asy’ari diakui oleh para pengikutnya

Al-Baqilani pada ratus tahun keempat atau Sahal

Atau al-Isfaraini adalah yunior yang handal

Sedang pada ratus kelima ialah si Tinta al-Ghazali

Dia terhitung tanpa bantahan, tanpa iri

Ratus keenam adalah al-Imam Fakhrurazi

Sedangkan ar-Rafi’I sama dan setentang berdiri

Ratus ketujuh naik kepada al-Maraqi

Ibnu Daqiq al-‘Idi, itu disepakati

Ratus kedelapan adalah al-Baqaini

Atau al-Imam al-Hafizh Zainuddin masa ini

Ratus yang kesembilan pun sudah dating

Tak ada pengganti yang terhitung menyandang

Aku berharap, semoga akulah pembaharunya

Sedangkan aku tidak mengingkari Allah tentang karunia

Sedangkan pada ratus yang paling akhir

Akan datang Isa, Nabi Allah bermukjizat, kalahkan penyihir

Dia akan memperbaharui agama umat ini

Sedangkan shalat sebagian kita pun dia pimpini

Ia mengakui agama kita dan memerintah aturan Islam,

Syari’at kita, karena ia sudah tahu dari langit alam

Sesudahnya tak ada pembaharu, ketentuan nyata

Al-Qur’an akan diangkat seperti sediakala

Setelah itu, kejahatan dan penyia-nyiaan akan menyebar

Sejak masa itu sampai kiamat, dalam khabar

Kita pun telah mendengar kabar tatkala umat Islam telah kehilangan pelindung mereka, Khilafah Islamiyyah, telah banyak hadir para ulama dan orang-orang yang ikhlas untuk berjuang mengembalikan Khilafah yang mulia ini. Mereka datang di masa yang tepat, saat-saat di mana umat diserbu oleh berbagai macam pemikiran yang merusak. Yang menyerang mereka dari seluruh penjuru.

Sah-sah saja jika ada yang berpendapat bahwa mujaddid yang lahir di abad dua puluh adalah Syaikh Hasan al-Banna misalnya, atau Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syahid Sayyid Quthb, dan juga Syaikh Abu al-A’la al-Maududi –semoga Allah merahmati mereka-. Tidak ada yang meragukan kapasitas mereka sebagai mujtahid, atau  bahkan di antaranya telah mencapai derajat mujtahid mutlak. Mereka telah menunjukkan kesungguhan untuk mengembalikan apa yang telah hilang dari umat ini. Maka bersyukurlah kita yang telah tertunjuki kepada pemikiran yang shahih berkat usaha para ulama yang mulia ini.

Lalu siapakah yang akan lahir sebagai pembaharu berikutnya? Apakah kita? Ataukah kita mengupayakan lahirnya sosok itu? Atau ia seorang khalifah yang kita dambakan untuk menyatukan kaum muslimin? Wallau a’lam. []

[Kusnady Ar-Razi]

Catatan:

Hadist dan seluruh pendapat para ‘ulama yang saya nuqil pada tulisan di atas terhimpun dalam kitab Taqrir al-Istinad fi at-Tafsir al-Ijtihad karangan Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi (w. 911 H/1505 M) yang ditahqiq oleh Dr. Fuad Abdul Mun’im Ahmad.

Leave a comment